Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur

Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur - Telur merupakan salah satu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Oleh kareta itu, pengembangan perjuangan peternakan ayam petelur di Indonesia masih mempunyai prospek yang cukup terbuka lebar. 

Kejadian di lapangan sejauh ini beberapa peternak ayam petelur masih saja menghadapi beraneka ragam duduk kasus yang berdampak pada penurunan jumlah maupun kualitas telur. Banyak faktor yang sanggup menjadi penyebab kondisi tersebut antara lain dari faktor infeksius (penyakit) dan non infeksius (kecukupan nutrisi pakan, mutu bibit, kondisi lingkungan dan administrasi pemeliharaan). 

Keberhasilan perjuangan peternakan ayam petelur ditentukan oleh pencapaian produksi telur. Pencapaian produksi telur diukur dari kuantitas/jumlah produksi (HD/Hen day) dan kualitas. Jika persentase jumlah produksi telur tinggi tapi kualitasnya rendah, maka peternak akan menghadapi duduk kasus lantaran telur dengan kualitas rendah tidak akan laris di pasaran. Sebaliknya, kalau kualitasnya anggun namun persentase produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi lantaran biaya operasional tidak tertutup oleh penjualan telur.

Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur
Penyebab Turunya Produksi Telur

Produksi Telur

Ayam petelur rata-rata mulai berproduksi ketika mencapai umur 17-18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur gres mencapai sekitar 5% dan selanjutnya akan terus mengalami peningkatan secara cepat hingga mencapai puncak produksi yaitu sekitar 94-95% di umur 25 minggu. Produksi telur diketahui telah mencapai puncaknya apabila selama 5 ahad berturut-turut persentase produksi telur sudah tidak mengalami peningkatan lagi. 


Sesuai dengan pola siklus bertelur, maka sehabis mencapai puncak produksi bertahap produksi mulai mengalami penurunan secara konstan dalam jangka waktu cukup usang selama 52-62 ahad semenjak pertama kali bertelur. Laju penurunan produksi telur secara normal berkisar antara 0,4-0,5% per minggu. Pada ketika ayam berumur 80 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah angka 70% dan pada kondisi demikian sanggup dikatakan ayam siap di afkir (HyLine Brown Management Guide, 2007).

Kualitas telur

Kualitas telur sanggup dilihat dari penggalan dalam dan luar. Bagian dalam mencakup kekentalan putih dan kuning telur, warna kuning telur dan ada tidaknya bintik darah pada putih atau kuning telur. Sedangkan  kualitas penggalan luar dilihat dari bentuk, ukuran dan warna kerabang. Telur ayam komersial yang normal mempunyai ciri-ciri berwarna coklat terang, kerabang telur tebal, mempunyai berat sekitar 55-65 gram/butir, putih telur kental dan di dalam kuning telur tidak terdapat blood spot/bintik darah.

Ayam umur 18 ahad hingga afkir, ukuran dan berat telur memang tidak akan sama setiap harinya. Dalam hal ini, seorang peternak harus mempunyai respon untuk memilih apakah ukuran/berat telur yang dihasilkan sesuai/mendekati standar atau jauh dari standar. Jauh dari standar, artinya sanggup lebih besar atau lebih kecil. Tidak sesuainya ukuran dan berat telur sanggup disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda.

Terkait warna telur, beberapa peternak menemukan telur tidak berwarna coklat. Warna coklat pada telur ayam intinya dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu adanya zat warna phorpyrin di terusan reproduksi ayam. Makara setiap jenis unggas, telah ditentukan warna telurnya baik putih, biru atau coklat. Namun dalam pembentukan warna kulit telur juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi atau obat tertentu. Kondisi lingkungan dan penyakit juga sanggup kuat terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur. Masalah kerabang telur tipis dan lembek sanggup bersumber dari nutrisi ataupun lantaran infeksi penyakit. Demikian juga dengan putih telur yang encer.

Dalam menjalankan perjuangan ayam petelur tak jarang terjadi penurunan jumlah produksi yang disertai dengan penurunan kualitas telur sekaligus. Sebagai pola pada kasus serangan penyakit IB, jumlah produksi telur sanggup turun sebesar 10-50%, tidak hanya itu, serangannya pun mengakibatkan kualitas telur menurun menyerupai bentuk telur abnormal, putih telur encer dan warna kerabang telur pucat. Untuk itu perlu adanya upaya mendiagnosa secara cepat dan tepat penyebab penurunan produksi telur semoga peternak sanggup segera mengantisipasinya. Jika ini sanggup dilakukan dengan baik, maka kerugian yang lebih besar sanggup dihindari.

Berbagai Masalah dalam Produksi Telur

Secara Umum ada dua penyebab utama turunnya produksi telur yaitu disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Seringkali kedua faktor tersebut terkait satu sama lain dan menghasilkan dampak yang lebih besar.

1.  Faktor infeksius (penyakit)

Penyakit dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur lantaran mengakibatkan banyak sekali disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara pribadi berafiliasi dengan produksi telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi buah bibir peternak ayam petelur yaitu ND, AI, IB dan EDS.
Virus AI mempunyai 2 prosedur dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada ketika budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua prosedur ini akan menjadikan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya mengakibatkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.

Perubahan pada organ reproduksi akhir ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS juga mengakibatkan warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak menyerupai bubur, berdarah, membengkak dan lembek.

Selain itu sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct juga semakin meningkatkan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yang dihasilkan, kasus IB mengakibatkan warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang menjadi tipis dan gampang pecah.

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akhir infeksi salah satu penyakit penurun produksi telur tersebut akan menjadikan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur akhir serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan AI sanggup mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND berdeda-beda tergantung dari status kekebalan.

2.  Faktor non infeksius

Penurunan produksi telur pada kasus non infeksius setidaknya disebabkan 3 faktor, antara lain :

Kualitas pullet
Kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri mempunyai berat tubuh dan keseragaman pullet yang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini sanggup menjadikan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi ciri tersendiri yang menjadikan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.


Nutrisi ransum dan air minum

Masalah kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi sanggup mengakibatkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air minum.

Ayam petelur yang tidak mengkonsumsi air minum hanya selama beberapa jam, akan berhenti berproduksi telur hingga berminggu-minggu. Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum menyerupai protein, asam amino tertentu menyerupai methionine dan lysine, energi, lemak total dan asam lemak esensial menyerupai asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Bahkan kalau hal tersebut terjadi pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, sanggup berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

Ayam petelur membutuhkan asupan kalsium (Ca) yang cukup tinggi di masa produksi. Jika sediaan Ca di dalam tubuh ayam tidak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun dan pembentukan kerabang telur pun sanggup terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca juga mempengaruhi warna kerabang telur. Jika kadar Ca rendah atau tidak cukup maka sekresi phorpyrin ketika pengecatan kerabang telur akan berkurang karenanya warna kulit telur menjadi lebih putih.

Harus diperhatikan pula keseimbangan antara Ca dan P (fosfor), dimana perbandingannya yaitu 5-6 : 
1. Peranan Ca dan P saling terkait dan mempunyai kekerabatan yang menunjang satu sama lain. Disamping itu penggunaan Ca dan P akan lebih efisien bila dalam ransum cukup mengandung vitamin D. Vitamin D ini diharapkan untuk mengabsorbsi unsur Ca dan P dalam tubuh ayam. Selain vitamin D, dibutuhkan pula vitamin lain yang diharapkan untuk menyusun telur dan mengantisipasi imbas stres yang mungkin timbul sehingga mengganggu produksi telur. Nutrisi yang juga penting untuk diperhatikan kadarnya dalam ransum ialah mineral garam (NaCl). Pemberian kadar garam yang terlalu tinggi atau terlalu rendah sanggup menurunkan produksi telur. Ayam yang kurang mengkonsumsi garam akan mengatakan tanda-tanda rontok bulu (mematuk ayam lain, mematuk bulunya sendiri) atau mengalami penurunan nafsu makan. Sebaliknya ayam yang mengkonsumsi terlalu banyak garam, akan meningkatkan konsumsi air minumnya dan menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yang dibutuhkan untuk membentuk telur berkurang dan penurunan produksi pun akan terjadi. Berikan ransum dengan kadar garam 0,3-0,4%.

Seringkali kasus ketidakseimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat tubuh (BB) ayam yang tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan BB di bawah standar tidak akan memulai produksi telur dan kalau berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu yang relatif lama. Selain itu, periode produksi menjadi mundur dengan jumlah produksi yang rendah. Begitu juga sebaliknya, pertumbuhan BB yang melebihi standar akan mengakibatkan produksi telur menjadi turun dengan ukuran telur yang besar. Selain itu juga sering memicu terjadinya kasus prolapsus. Kejadian prolapsus tentunya akan sangat berakibat fatal lantaran berdampak pada kerusakan permanen terusan telur sehingga ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak tersebut juga akan menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).

Manajemen pemeliharaan
Manajemen pemeliharaan ayam petelur yang jelek menjadikan penurunan jumlah produksi dan kualitas telur. Tindakan administrasi tersebut, antara lain sebagai berikut :

1.  Kurangnya pencahayaaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya
Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan ketika masa pullet juga berafiliasi erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan terusan reproduksi. Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran besar (abnormal).

2.  Faktor stres
Stres sanggup mengakibatkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi mencakup stres akhir perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan benalu dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akhir bunyi gaduh atau perlakuan bernafsu sanggup mengakibatkan proses pembentukkan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna. Kedinginan yaitu stres yang paling sering terjadi selama isu terkini penghujan. Dalam kondisi ini pencahayaan berkurang dan berakibat tidak terangsangnya hormon reproduksi untuk memproduksi telur.

Sebaliknya stres akhir cuaca panas, mengakibatkan ayam lebih banyak minum dan mengurangi acara konsumsi ransum sehingga kebutuhan nutrisi untuk pembentukan telur tidak terpenuhi. Kondisi ini sanggup mengakibatkan produksi telur turun, demikian pula dengan kualitasnya. Selama cuaca panas, ayam akan melaksanakan panting (megap-megap) sehingga mengeluarkan banyak karbondioksida (CO2). Pada pembentukan telur, CO2 diharapkan untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO3) yang mempunyai kegunaan untuk menyusun kerabang telur. Akibat CO2 berkurang maka kerabang akan lebih tipis dan gampang retak.

Solusi :


Cara Mengatasi Turunya Produksi Telur 


Demikian Artikel wacana " Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur " yang sanggup kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam Sukses Peternak Indonesia!!

Sumber : Info medion

0 Response to "Memahami Penyebab Turunya Produksi Telur"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel